Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Blora Kabupaten Bersejarah dan Berbudaya, Keistimewaan dan Keunikanya di Jawa Tengah

Keistimewaan dan Keunikan Blora
Sumber : YouTube @penunjukjalan

Blora adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia, yang terletak di bagian timur provinsi tersebut. Blora memiliki luas wilayah 1.905,55 km2 dan jumlah penduduk sekitar 1,2 juta jiwa. Ibu kota kabupaten ini adalah Kecamatan Blora Kota, yang juga merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian. Blora berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati di utara, Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur) di sebelah timur, Kabupaten Ngawi di selatan, serta Kabupaten Grobogan di bagian barat. Blora juga berbatasan dengan Sungai Bengawan Solo, sungai terpanjang di Pulau Jawa.

Sejarah Blora

Nama Blora berasal dari kata wai + lorah, yang berarti tanah rendah berair atau berlumpur. Dalam bahasa Jawa, huruf W sering diganti dengan huruf B, sehingga wailorah menjadi bailorah, lalu menjadi balora, dan akhirnya menjadi blora. Nama ini sesuai dengan kondisi geografis Blora yang merupakan dataran rendah dan subur.

Blora memiliki sejarah yang panjang dan kaya. Pada abad ke-16, Blora berada di bawah pemerintahan Kadipaten Jipang, yang merupakan salah satu wilayah Kerajaan Demak. Adipati Jipang saat itu bernama Aryo Penangsang, yang juga dikenal sebagai Aria Jipang. Ia adalah salah satu pahlawan perang melawan penjajah Portugis di Malaka. Namun, ia tewas terbunuh oleh Jaka Tingkir, yang kemudian mewarisi takhta Demak dan memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang. Sejak saat itu, Blora masuk ke dalam wilayah Kerajaan Pajang.

Pada tahun 1586, Kerajaan Pajang digantikan oleh Kerajaan Mataram, yang berpusat di Kotagede, Yogyakarta. Blora termasuk ke dalam wilayah Mataram bagian timur atau daerah Bang Wetan. Pada masa pemerintahan Pakubuwana I (1704-1719), Blora diberikan kepada putranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati. Blora menjadi salah satu daerah yang terlibat dalam Perang Mangkubumi (1727-1755), yaitu perang saudara antara Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi (kelak menjadi Sultan Hamengkubuwana I). Blora berpihak kepada Pakubuwana II, yang didukung oleh VOC.

Setelah perang berakhir dengan Perjanjian Giyanti (1755), Blora tetap berada di bawah kekuasaan Mataram, yang kemudian terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pada masa pemerintahan Pakubuwana III (1749-1788), Blora menjadi salah satu daerah yang memberontak terhadap kebijakan VOC yang mengeksploitasi rakyat. Pemberontakan ini dipimpin oleh Raden Mas Said, yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa atau Mangkunegara I. Ia berhasil merebut Blora dari tangan VOC pada tahun 1757, dan menjadikannya sebagai basis perjuangannya. Namun, pada tahun 1759, VOC berhasil merebut kembali Blora dan mengusir Raden Mas Said.

Pada tahun 1765, Raden Mas Said kembali menyerang Blora dan berhasil menguasainya. Ia juga berhasil merebut beberapa daerah lain, seperti Grobogan, Rembang, Pati, dan Kudus. Ia mendirikan kerajaan sendiri yang bernama Kadipaten Mangkunegaran. Namun, pada tahun 1772, ia menandatangani Perjanjian Salatiga, yang mengakui kedaulatan VOC dan Kasunanan Surakarta atas wilayahnya. Ia hanya diberikan wilayah kecil di sekitar Surakarta, yang kemudian menjadi cikal bakal Mangkunegaran.

Blora kembali menjadi bagian dari Kasunanan Surakarta, yang kemudian menjadi bagian dari Hindia Belanda. Pada masa penjajahan Belanda, Blora menjadi salah satu daerah yang mengalami penindasan dan penderitaan. Rakyat Blora banyak yang dijadikan sebagai kuli kontrak atau romusha, yang dikirim ke berbagai daerah untuk bekerja paksa. Blora juga menjadi saksi bisu dari berbagai peristiwa berdarah, seperti pembantaian rakyat di Desa Ngawen pada tahun 1908, dan penembakan rakyat di Desa Kradenan pada tahun 1945.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Blora juga mengalami kesulitan dan kesengsaraan. Rakyat Blora banyak yang dijadikan sebagai romusha atau heihō, yang dipaksa bekerja untuk kepentingan Jepang. Blora juga menjadi salah satu daerah yang melahirkan pejuang-pejuang kemerdekaan, seperti Kolonel Soedirman, yang merupakan panglima besar pertama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ia lahir di Desa Bodas Karangjati, Kecamatan Randublatung, Blora, pada tahun 1916.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Blora menjadi salah satu daerah yang terlibat dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan sekutunya. Blora menjadi basis operasi dari Divisi IV Banyumas, yang dipimpin oleh Kolonel Soedirman. Blora juga menjadi saksi dari berbagai pertempuran heroik, seperti Pertempuran Ngawen pada tahun 1948, dan Pertempuran Ngemplak pada tahun 1949. Blora juga menjadi tempat bersejarah bagi pergerakan Islam, karena di sini berdiri Pesantren Al-Munawwir, yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pada tahun 1914.

Budaya Blora

Blora memiliki budaya yang khas dan beragam, yang dipengaruhi oleh berbagai unsur, seperti Jawa, Madura, Arab, Cina, dan Belanda. Blora memiliki berbagai kesenian tradisional, seperti wayang kulit, wayang krucil, wayang orang, wayang wong, ludruk, kethoprak, reog, barongan, tayub, campursari, gambus, dan lain-lain. Blora juga memiliki berbagai upacara adat, seperti sedekah bumi, ruwatan, bersih desa, nyadran, grebeg, dan lain-lain.

Blora juga memiliki berbagai kuliner khas, seperti nasi tumpang, nasi jagung, nasi liwet, nasi pecel, nasi gudeg, nasi krawu, nasi lengko, nasi megono, nasi tahu, nasi timlo, nasi bogana, nasi kucing, nasi kuning, nasi uduk, nasi goreng, soto, rawon, tongseng, gule, opor, semur, sayur lodeh, sayur asem, sayur godog, sayur bobor, sayur bening, sayur tumis, sayur urap, sayur pecel, sayur kacang, sayur kangkung, sayur bayam, sayur daun singkong, sayur daun kelor, sayur daun pepaya, sayur daun ubi, sayur daun jambu, sayur daun kemangi, sayur daun kemuning, sayur daun katuk, sayur daun melinjo, sayur daun papaya, sayur daun sawi, sayur daun seledri, sayur daun bawang, sayur daun kunyit, sayur daun salam, sayur daun jeruk, sayur daun pandan, sayur daun sirih, sayur daun mint, sayur daun kemiri, sayur daun kelapa, sayur daun pisang, sayur daun tebu, sayur daun jati, sayur daun sukun.

Keistimewaan Dan Keunikan Blora

Selain sejarah dan budaya yang saya sebutkan sebelumnya, Blora juga memiliki beberapa keistimewaan dan keunikan lainnya, yaitu:
  • Blora adalah salah satu penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia, terutama di wilayah Blok Cepu, yang dikelola oleh Pertamina dan ExxonMobil. Blora juga memiliki sumber daya alam lainnya, seperti gas bumi, batu bara, batu kapur, dan pasir kuarsa.
  • Blora memiliki beberapa situs kuno yang menarik, seperti situs fosil fauna purba di Desa Krikilan, yang berisi fosil-fosil gajah, badak, kuda, dan sapi purba yang berusia sekitar 1,8 juta tahun. Blora juga memiliki situs Wura-Wari di Desa Jipang, yang merupakan bekas permukiman manusia prasejarah yang berusia sekitar 3.000 tahun. Selain itu, Blora juga memiliki petilasan Kadipaten Jipang Panolan, yang merupakan pusat pemerintahan Adipati Jipang, Aryo Penangsang, yang berperan penting dalam sejarah Kerajaan Demak.
  • Blora memiliki beberapa kuliner khas yang lezat, seperti satai Blora, yang merupakan sate kambing yang dibumbui dengan bumbu kacang dan kecap, serta disajikan dengan lontong dan sambal. Blora juga memiliki nasi tumpang, yang merupakan nasi yang dibungkus dengan daun pisang, dan berisi lauk-pauk seperti telur, ayam, tempe, dan sambal. Selain itu, Blora juga memiliki nasi jagung, yang merupakan nasi yang dibuat dari jagung pipil, dan dimasak dengan santan, garam, dan daun salam.

Posting Komentar untuk "Blora Kabupaten Bersejarah dan Berbudaya, Keistimewaan dan Keunikanya di Jawa Tengah"